Jakarta (19/12) – Bela negara merupakan hal yang terus digaungkan, terutama dalam mengenang Deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19 Desember 1948 di Sumatera Barat akibat agresi militer Belanda kedua. Di era modern, ancaman yang dihadapi tidak lagi konvensional, melainkan multidimensi, mencakup ekonomi, pangan, ideologi, hingga perang nonkonvensional yang mampu merusak bangsa tanpa letupan senjata.
Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso menegaskan pentingnya mempersiapkan diri menghadapi berbagai tantangan dengan mengingat pepatah Latin, si vis pacem, para bellum, yang berarti “jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.” Menurutnya, perang di era ini dapat berbentuk ekonomi, pangan, sanksi, hingga konflik fisik. “Semua membutuhkan ketahanan dan penjagaan kedaulatan sebagai langkah antisipasi,” ujarnya.
Tema Hari Bela Negara dari Kementerian Pertahanan, “Gelorakan Bela Negara untuk Indonesia Maju”, dinilai sangat relevan. KH Chriswanto mengingatkan bahwa bangsa Indonesia memiliki posisi strategis sebagai penghubung perdagangan dunia antara Asia, Eropa, dan Australia. Kekayaan sumber daya alam dan letak geografis ini sejak lama menjadi incaran bangsa-bangsa imperialis. “Kita harus menyadari bahwa tanah air ini selalu menjadi rebutan karena potensi strategisnya,” imbuh KH Chriswanto.
Ia juga menyoroti dampak perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, serta krisis pangan akibat perubahan iklim. Salah satu langkah antisipatif adalah kebijakan Food Estate yang dicanangkan Presiden Prabowo untuk meningkatkan produksi pangan nasional dan mengurangi ketergantungan impor. “Dengan menjaga kedaulatan pangan, Indonesia tidak hanya mampu menyejahterakan rakyatnya tetapi juga memiliki posisi terhormat di kancah internasional,” jelasnya.
KH Chriswanto juga mengingatkan bahwa generasi muda adalah kelompok yang rentan terpengaruh ideologi bertentangan dengan Pancasila, terutama melalui media sosial. “Jika nasionalisme, patriotisme, serta pemahaman nilai Pancasila dan agama tidak kuat, mereka mudah terjebak perang ideologi dan budaya konsumerisme,” tegasnya.
Konsumerisme dan gaya hidup hedonisme melemahkan mental generasi muda, sekaligus menguras kekayaan negara melalui arus barang impor. “Triliunan uang rakyat Indonesia terbang ke luar negeri karena tingginya konsumsi produk impor,” tambahnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono, mengingatkan pentingnya mengenang agresi militer Belanda kedua sebagai tonggak persatuan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. “Agresi ini menjadi momentum rakyat untuk bersatu padu melawan penjajahan,” ujarnya.
Dalam bahasa Jawa, istilah bela negara diterjemahkan sebagai ‘melu hangrungkebi,’ yang berarti ikut mempertahankan apa yang menjadi milik bangsa. Singgih menegaskan, tantangan terbesar saat ini adalah menjaga cinta tanah air dan nasionalisme di tengah gempuran budaya global. “Semangat bela negara akan memudar jika kesadaran cinta tanah air tidak ditanamkan sejak dini,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya generasi tua menjadi teladan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada generasi muda. “Melalui sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai kebangsaan, semangat bela negara dapat terus hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang,” pungkasnya.